CATATAN KEPERAWATAN : STREOTYPE MINANGKABAU

Senin, 14 Januari 2013

STREOTYPE MINANGKABAU



STREOTYPE MINANGKABAU


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat Minangkabau adalah sebutan untuk sebuah kelompok masyarakat yang mendiami sebagian besar daerah Propinsi Sumatra Barat yang meliputi kawasan seluas 18.000 meter persegi yang memanjang dari utara ke selatan di antara Samudera Indonesia dan gugusan Bukit Barisan. Secara jelas batas daerah etnis Minangkabau ini sulit diketahui, bahkan apabila dikaji secara linguistik sama dengan “antah-berantah”. (Hal ini disebabkan karena masyarakat Minangkabau lebih banyak melukiskan kondisi dan situasi daerahnya melalui sastra lisan (kaba dan tambo). Berbagai budaya unik dan menarik yang dapat kita lihat dari masyarakat minangkabau ini salah satunya adalah kebiasaan atau tradisi dari wilayah minangkabau ini.
B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana adat istiadat di daerah minangkabau ?
2.      Bagaimana sifat / kepribadian dari masyarakat minangkabau itu sendiri ?
3.      Bagaimana falsafah dari masyarakat minagkabau ?
4.      Bagaimana makanan khas  dari masyarakat minangkabau ?
5.      Bagaimana rumah adat yang dimiliki masyarakat minangkabau ?
C. Tujuan
1.      Untuk mengetahui adat istiadat di daerah minangkabau
2.      Untuk mengetahui sifat / kepribadian dari masyarakat minangkabau
3.      Untuk mengetahui falsafah dari masyarakat minagkabau
4.      Untuk mengetahui makanan khas  dari masyarakat minangkabau
5.      Untuk mengetahui rumah adat yang dimiliki masyarakat minangkabau

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Minangkabau
Kepulauan Indonesia merupakan suatu gugusan yang terpanjang dan terbesar didunia, Indonesia salah satu negara dengan masyarakat majemuk dilihat dari berbagai sudut dan tingkat perkembangan kebudayaan. Keanekaragaman kelompok atau suku bangsa yang juga dikenal luas sebagai bangsa yang terdiri dari sekitar 300 suku bangsa (Broner dalam Koenjaraningrat 2004) yang masing- masing mempunyai kebudayaan sendiri atau disebut multi etnis. Masyarakat etnis ini telah ada semenjak ratusan tahun yang lalu, selama itu pula mereka menumbuhkan, memelihara dan mengembangkan tradisi mereka. Salah satu golongan etnis yang ada di Indonesia yaitu suku bangsa Minangkabau yang mendiami dataran tengah Pulau Sumatera bagian Barat yang sekarang menjadi Propinsi Sumatera Barat. Daerah asli Minangkabau.
Asal- usul nama Minangkabau cukup beragam, tapi umumnya beranggapan nama itu timbul setelah mereka menang adu kerbau dengan pendatang lebih kuat.
Kata Minangkabau bisa berasal dari Manang Kabau (Menang Kerbau ), bisa pula
dari kata Minangkabau ( sejenis senjata tajam yang dipasang pada kepala kerbau ).
Ada pula yang membantah bahwa asal nama itu bukan dari adu kerbau, tapi sudah
ada sejak dulu. Yang jelas bangunan rumah adat Minangkabau mencirikan tanduk

B. Adat Istiadat
Salah satu ciri yang melekat pada masyarakat Minangkabau ini adanya masih kuatnya masyarakat memegang dan menerapkan adat (adaik) yang mereka miliki. Salah satu bentuk ajaran adat tersebut tertuang dalam adat lareh, berupa seperangkat nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar yang mengatur aktifitas dan kehidupan sosial politik masyarakatnya. Lareh sebagai “sistem politik”, sering dipakai untuk menyebut aliran pemikiran dua datuak nenek moyang pendahulu masyarakat Minangkabau yaitu Datuak Katamenggungan yang mengembangkan lareh Koto Piliang, dan Datuak Prapatiah Nan Sabatang.
Berangkat dari tambo yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau, Datuak Katamenggungan mengembangan sistem politik (lareh) Koto Piliang, dan Datuak Prapatiah Nan Sabatang mengembangkan lareh Bodi Caniago. Lareh Koto Piliang lebih bercirikan “aristokratis”, dimana kekuasaan tersusun pada strata-strata secara bertingkat dengan wewenangnya bersifat vertikal, sesuai dengan pepatahnya manitiak dari ateh (menetes dari atas). Sementara lareh Bodi Caniago bercirikan “demokratis” dimana kekuasaan tersusun berdasarkan prinsip egaliter dengan wewenang bersifat horizontal, sesuai dengan pepatahnya mambusek dari bumi (muncul dari bawah) Secara struktural, ajaran kedua lareh ini lah yang akhirnya mempengaruhi (constrains) pola kehidupan sosial-politik masyarakat Minangkabau di kemudian hari.
Perbedaan-perbedaan ini lah yang sering menjadi pemicu munculnya persaingan dan pertentangan diantara duo datuak ini dalam memimpin Minangkabau pada waktu itu. Puncaknya, terjadi setelah ayah dan ibu mereka (Cati Bilang Pandai dan Indo Jalito) meninggal dunia, yaitu dengan terjadinya “perang“ di Limo Kaum. Pada perkembangan kemudian, akhirnya kedua datuak ini lalu membentuk dua sistem politik (lareh) yang berbeda dan masing-masing nya saling berebut pengaruh dalam masyarakatnya. Masyarakat Minangkabau akhirnya terbelah dalam dua sistem politik (phratry dualism), dan disisi lain juga akhirnya membelah wilayah Minangkabau kedalam dua aliran tersebut, yang dikenal dengan istilah luhak. Secara struktural, dua lareh yang diciptakan duo datuak ini lah yang kemudian menjadi landasan dasar kehidupan sosial-politik masyarakat Minangkabau, sampai sekarang ini.

C. Sifat / Kepribadian Masyarakat Minangkabau
Pengertian stereotipe menurut Lippmann (dalam Warnaen 2002) adalah gambaran dikepala yang merupakan rekonstruksi dari keadaan lingkungan yang sebenarnya. Berdasarkan pandangan masyarakat indonesia bahwa stereotipe Etnis Minangkabau itu pelit, kikir dan sebagainya tetapi ada beberapa yang beranggapan Etnis minangkabau itu tidak pelit, kikir dan sebagainya. Justru ada yang menunjukan prilaku prososial, seperti : solidaritas, tenggang rasa, empati (Amir 2003) menurut Staub dan Wispe perilaku prososial adalah perilaku menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Seperti kita ketahui di ibukota seperti Jakarta ini banyak sekali tempat pemukiman dari yang paling bagus sampai yang paling sederhana.
Ada kecenderungan “dualisme” dalam masyarakat Minangkabau. Ini misalnya terungkap dengan berbagai istilah yang digunakan, seperti “dualisme” , “aturannya yang dipakai berubah-ubah”, “aturan yang dipakai tidak jelas”,“ambiguous”. Konsep “dualisme” ini cenderung dikonotasikan secara negatif. Dalam pergaulan lintas budaya stereotip ini juga berkembang. Orang Minang sering dibilang bengkok hatinya (munafik, mendua). Hal tersirat dalam ungkapan “Padang Bengkok”. Dalam pepatah Minang juga ada yang mencerminkan perilaku ini: “Taimpik nak diateh, Takurung nak di lua” (Terhimpit mau di atas, Terkurung maunya di luar). Sikap ini mengindikasikan sifat oportunis orang Minang yang mau enak saja.
Tulisan Saanin Datuak Tan Pariaman, “Kepribadian Orang Minangkabau dan Psikopatologinya” secara tegas menyebutkan “masyarakat minangkabau memiliki pola dualisme” yang melihat bahwa masyarakat Minangkabau cenderung memiliki psikologi yang terbelah dua (dualisme). Menurut Saanin, ketika seseorang mempelajari Minangkabau, akan selalu dihadapkan pada masalah “dualisme” tersebut. Sifat dualisme seperti ini, misalnya terlihat jelas pada :
1.      Penerapan aturan antara cara adat (matrilineal) dengan cara agama (patrilineal).
2.      Sistem politik (lareh) antara aristokratis dengan demokratis.
3.      Pola pengasuhan anak antara pengasuhan oleh mamak dengan pengasuhan oleh bapak.
4.      Sistem pewarisan (harta dan gelar) antara pewarisan ke kemenakan dengan pewarisan ke anak.

D. Falsafah Masyarakat Minangkabau
Pada sifat kerbau (yang merupakan simbol Minangkabau) menurut M. Nasroen terdapat juga hal perimbangan pertentangan ini. Kerbau ketika tunduk dan merendahkan kepala bukanlah ia tunduk sebenarnya dan takut. Tetapi isyarat ia akan menyerang.
Perimbangan pertentangan juga dapat kita lihat dalam sistem matrilineal Minangkabau yang memberikan kedudukan istimewa kepada kaum ibu. Kaum ibulah berpusat sistem keturunan orang Minangkabau. Sehingga persekutuan hidup Minangkabau mempunyai jaminan hidup dan kesejahteraan dari harta pusaka dan dana milik kaum/suku. Kaum ibulah yang berkuasa atas harta benda kaum seperti sawah, ladang, rumah dsb. Kaum ibu memilihara harta benda itu dengan sebaik-baiknya, sebab harta benda itu adalah jaminan bagi hidup dan keselamatan anak-anaknya sendiri.
Namun, kekuasaan kaum ibu terhadap harta benda itu tidak mengindikasi kesewenang-wenangan terhadap harta tersebut. Kaum laki-laki yaitu mamak/paman dalam kaum itu (saudara laki-laki ibu) mempunyai hak pengawasan atas harta benda itu. Tindakan atas harta milik kaum baik hubungan ke dalam dan yang berhubungan keluar (dengan orang lain) seperti mengadai, hanya bisa dilakukan dengan seizin mamak
Keadaan masyarakat Minangkabau yang membuktikan adanya dasar perimbangan pertentangan ini adalah mengenai adat Minangkabau itu sendiri yang berlaku prinsip perimbangan antara yang kekal dan yang berubah. Adat Minangkabau adalah kekal tetapi berubah-ubah. Demikian pula alam yang nyata ini. Alam kekal sampai kiamat, tetapi dibalik alam itu mengalami perubahan pula.

E. Makanan khas dari minangkabau
Makan Bajamba berasal dari akar budaya Minangkabau yang secara turun temurun masih dilaksanakan hingga saat ini. Merupakan sebuah ritual budaya makan bersama yang diadakan dalam lingkup keluarga dekat, dalam hal ini adanya pertalian darah.
Namun demikian, tidak jarang dilakukan dalam lingkup yang lebih luas, seperti persaudaraan satu suku kendati tidak ada hubungan darah (suku dalam adat Minangkabau hampir sama dengan marga dalam adat Batak). Kekeluargaan dan gotong royong sudah terasa pada tahap pertama dalam proses mempersiapkan makanan, karena memasak dilakukan bersama-sama.
Kemudian prosesi Makan Bajamba ini dilakukan dengan beberapa aturan yang sudah ditetapkan oleh para leluhur atau sesepuh adat di Bumi Minang. Biasanya ritual ini diawali dengan pembacaan ayat-ayat suci Al Quran, kemudian diiringi dengan petuah atau ucapan dari tuan rumah atau pemuka adat yang hadir pada saat itu.
Budaya Makan Bajamba memiliki beberapa aturan adat sebagai simbolis penghormatan kepada yang lebih tua, seperti menyuap (mengambil makanan dengan tangan) yang pertama kali harus yang paling tua. Dan yang menambahkan makanan dan lauk pauknya dilakukan oleh anggota keluarga yang paling muda, serta tetap menjaga tata krama dan etika pada saat makan.
Makanan disajikan dalam piring-piring besar, biasanya berdiameter minimal 70 cm, dan disantap oleh lima sampai enam orang dalam satu piring atau jamba (wadah) dengan posisi duduk di lantai mengelilingi piring. Posisi perempuan bersimpuh, sedang yang laki-laki baselo (bersila). Tujuannya bila ada nasi yang jatuh ketika hendak masuk mulut tidak kembali masuk ke dalam piring. Jadi, yang lain tidak merasa jijik untuk memakan nasi tersebut secara bersama-sama.
Lauk pauk yang wajib menjadi teman Makan Bajamba tentunya adalah masakan khas Sumatra Barat, rendang daging yang dicampur dengan kacang pagar. Potongan dagingnya tidak terlalu besar, namun dirasa cukup untuk dimakan berlima. Isi satu porsi rendang adalah tiga potong daging ditambah sedikit kacang dan bumbu rendang.
Ketiga jenis lauk tersebut, dihidangkan bersama-sama nasi dalam jamba besar dan ditambah sepiring nasi untuk tambuah (tambahan Kegunaannya untuk mengelap atau menyerap minyak dari sambal yang sudah dimakan tadi. Sebelum tangan dicuci dalam kobokan, minyak yang melekat di tangan sudah semakin terserap sampai suapan terakhir.
Acara Makan Bajamba ini biasanya dijadikan sebagai pelengkap bagian acara adat lainnya seperti pernikahan, khitanan, halal bihalal, khatam Al Quran dan beberapa acara adat lainnya. Inilah mengapa ritual Makan Bajamba dipilih sebagai prosesi adat yang layak jual sebagai daya tarik wisata di Sumatera.Dengan bahasa daerah setempat dan nada serta intonasi yang diakhirnya selalu dengan bunyi yang sama, mengandung kekayaan budaya Melayu yang khas. Mungkin bagi orang yang mengerti bahasa setempat menjadi lebih indah dalam menyelami bunyi dan makna. 
Di samping itu, ada lagi daya tarik lain dari segi kostum yang digunakan peserta Makan Bajamba. Dalam pakem budaya yang sebenarnya, pakaian yang dikenakan haruslah pakaian adat lengkap dengan hiasan kepala berbentuk tanduk. Untuk kaum wanita harus mengenakan baju kurung dengan bahan satin bagi usia muda, dan volvet untuk yang sudah berumur. Namun, seiring perkembangan jaman, karena jenis bahan tersebut sudah jarang diproduksi lagi, maka makin bervariasi bahan baju kurung yang dipakai dalam adat ini. Warna pakaian yang terang-benderang seperti merah, kuning, merah jambu dan manik-manik yang berkilauan menjadi warna pilihan kaum wanita saat prosesi adat Makan Bajamba berlangsung.

F. Rumah adat minangkabau
Rumah Gadang atau Rumah Godang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau yang merupakan rumah tradisional dan banyak di jumpai di provinsi Sumatera BaratIndonesia. Rumah ini juga disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Bagonjong atau ada juga yang menyebut dengan nama Rumah Baanjung.
Rumah dengan model ini juga banyak dijumpai di Negeri SembilanMalaysia. Namun demikian tidak semua kawasan di Minangkabau (darek) yang boleh didirikan rumah adat ini, hanya pada kawasan yang sudah memiliki status sebagai nagari saja Rumah Gadang ini boleh didirikan. Begitu juga pada kawasan yang disebut dengan rantau, rumah adat ini juga dahulunya tidak ada yang didirikan oleh para perantau Minangkabau.
Fungsi Rumah Gadang sebagai tempat tinggal bersama, mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Jumlah kamar bergantung kepada jumlah perempuan yang tinggal di dalamnya. Setiap perempuan dalam kaum tersebut yang telah bersuami memperoleh sebuah kamar. Sementara perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Gadis remaja memperoleh kamar bersama di ujung yang lain.
Seluruh bagian dalam Rumah Gadang merupakan ruangan lepas kecuali kamar tidur. Bagian dalam terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang itu berbanjar dari muka ke belakang dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang menandai lanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan menandai ruang. Jumlah lanjar bergantung pada besar rumah, bisa dua, tiga dan empat. Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas.
Rumah Gadang biasanya dibangun diatas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku/kaum tersebut secara turun temurun  dan hanya dimiliki dan diwarisi dari dan kepada perempuan pada kaum tersebut.  Dihalaman depan Rumah Gadang biasanya selalu terdapat dua buah bangunan Rangkiang, digunakan untuk menyimpan padi. Rumah Gadang pada sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya terdapat ruang anjung (Bahasa Minang: anjuang) sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat, karena itu rumah Gadang dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang. Anjung pada kelarasan Bodi-Chaniago tidak memakai tongkat penyangga di bawahnya, sedangkan pada kelarasan Koto-Piliang memakai tongkat penyangga. Hal ini sesuai filosofi yang dianut kedua golongan ini yang berbeda, salah satu golongan menganut prinsip pemerintahan yang hirarki menggunakan anjung yang memakai tongkat penyangga, pada golongan lainnya anjuang seolah-olah mengapung di udara. Tidak jauh dari komplek Rumah Gadang tersebut biasanya juga dibangun sebuah surau kaum yang berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat pendidikan dan juga sekaligus menjadi tempat tinggal lelaki dewasa kaum tersebut yang belum menikah.
Arsitektur rumah adat ini memiliki keunikan bentuk arsitektur dengan bentuk puncak atapnya runcing yang menyerupai tanduk kerbau dan dahulunya dibuat dari bahan ijuk yang dapat tahan sampai puluhan tahun  namun belakangan atap rumah ini banyak berganti dengan atap seng.
Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bahagian muka dan belakang. Dari bagian dari depan Rumah Gadang biasanya penuh dengan ukiran ornamen dan umumnya bermotif akar, bunga, daun serta bidang persegi empat dan genjang. Sedangkan bagian luar belakang dilapisi dengan belahan bambu. Rumah tradisional ini dibina dari tiang-tiang panjang, bangunan rumah dibuat besar ke atas, namun tidak mudah rebah oleh goncangan[1], dan setiap elemen dari Rumah Gadang mempunyai makna tersendiri yang dilatari oleh tambo yang ada dalam adat dan budaya masyarakat setempat.
Pada umumnya Rumah Gadang mempunyai satu tangga yang terletak pada bagian depan. Sementara dapur dibangun terpisah pada bagian belakang rumah yang didempet pada dinding.
G. Ukiran
Ragam ukir khas Minangkabau pada dinding bagian luar dari Rumah Gadang.Pada bagian dinding Rumah Gadang di buat dari bahan papan, sedangkan bagian belakang dari bahan bambu. Papan dinding dipasang vertikal, sementara semua papan yang menjadi dinding dan menjadi bingkai diberi ukiran, sehingga seluruh dinding menjadi penuh ukiran. Penempatan motif ukiran tergantung pada susunan dan letak papan pada dinding Rumah Gadang.
Pada dasarnya ukiran pada Rumah Gadang merupakan ragam hias pengisi bidang dalam bentuk garis melingkar atau persegi. Motifnya umumnya tumbuhan merambatakar yang berdaun, berbunga dan berbuah. Pola akar biasanya berbentuk lingkaran, akar berjajaran, berhimpitan, berjalinan dan juga sambung menyambung. Cabang atau ranting akar berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas dan ke bawah. Disamping motif akar, motif lain yang dijumpai adalah motif geometri bersegi tiga, empat dan genjang. Motif daunbunga atau buah dapat juga diukir tersendiri atau secara berjajaran.

BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
 Kata Minangkabau bisa berasal dari Manang Kabau (Menang Kerbau ), bisa pula
dari kata Minangkabau ( sejenis senjata tajam yang dipasang pada kepala kerbau ). Kemampuan masyarakat Minangkabau dalam memecahkan dualisme agar tidak menjadi disharmoni inilah, dalam literatur sering digambarkan sebagai “kesatuan dalam keragaman”, “permusuhan dalam persahabatan (hostile in friendship)” , dispute in harmony, “dari dualisme menuju keesaan”. Oleh sebab itu, “dualisme menuju keesaan” ini adalah sesuatu yang khas mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan Minangkabau, suku-bangsa Minangkabau maupun jiwa atau psikologis orang Minangkabau itu sendiri. Sifat atau kepribadian masyarakat minangkabau adalah “dualisme” ini cenderung dikonotasikan secara negatif. Falsafah masyarakat minangkabau yaitu Kaum ibu memilihara harta benda itu dengan sebaik-baiknya, sebab harta benda itu adalah jaminan bagi hidup dan keselamatan anak-anaknya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Ariffin,Zainal.Permusuhan Dalam Persahabatan Budaya Politik Masyarakat Minangkabau : Universitas Malaya Kuala Lumpur Malaysia.
Trio Minang Bersimpang Jalan. 2008. Dalam Kompas Edisi Khusus Hari Kemerdekaan. Jakarta : PT Tempo Inti Media Tbk
Nasroen, M. 1957. Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Jakarta : Pasaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar